Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I. |
www.pusmajambojojogja.or.id – Tulisan ini merupakan makalah mini yang disampaikan pada diskusi rutin Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta pada hari Kamis, 10 Maret 2016 di Aula Asrama Mahasiswa "Putra Abdul Kahir" Bima-Yogyakarta.
A. Pendahuluan
Menelaah kembali kecerdasan dan kearifan lokal (local wisdom) yang mulai lemah dan tercabut dari akar budayanya oleh datangnya westernisani dan modernisasi di era globalisasi dewasa ini. Kita cenderung lupa dan meninggalkan warisan leluhur kita yang sangat berharga, sehingga kita tidak tahu lagi apa yang telah diwariskan oleh para leluhur kita dahulu. Padahal kita menikmati hidup sekarang berkat kerja keras yang dilakukan oleh para leluhur dan pelaku sejarah di masa lalu. Bukankah kita tahu dan sering kita dengar sebuah pepatah “belajarlah dari pengalaman, karena pengalaman adalah guru yang terbaik”, baik itu pengalaman pribadi atau orang lain.
Karena pengalaman itu
adalah sejarah, sesuatu yang telah terjadi. Apa jadinya kalau masyarakat kita
sampai tidak menghargai sejarah bangsanya. Masyarakat zaman sekarang bisa hidup
seperti sekarang karena adanya sejarah yang telah dibuat oleh para pelaku
sejarah di masa lalu. Bangsa yang arif dan bijak adalah bangsa yang menghargai
sejarah bangsanya. Bangsa-bangsa yang hidup di masa lalu mengalami puncak
kejayaannya karena senantiasa belajar dari masa lalu.
Abraham Lincoln mantan
president Amerika pernah mengatakan
seperti yang dikutip oleh Ghazali Ama La Nora bahwa “one can not escape history” (tidak ada satu orang pun yang bisa
menghindari sejarah). Dan dipertegas oleh mantan president Indonesia, Soekarno;
“Bukan saja tidak mungkin menghindar dari
sejarah, tetapi jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah.”[1] Bahkan
dalam buku Soerakrno The Leadership
Seckrets Of yang dikutip oleh Argawi Kandito bahwa Soekarno juga pernah
mengatakan “JASMERAH” (jangan sekali-kali melupakan sejarah).[2]
Firman Allah swt.: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal.” (Q.S. Yusuf/12 ayat 111).
Nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang telah diciptakan oleh para pendahulu bisa menjadi pegangan dan sandaran bagi karakteristik masyarakat Mbojo[3] (Bima NTB) menjadikannya contoh teladan dan mengembangkannya dengan mengkombinasikannya dengan kebutuhan hidup masa kini.
“Manusia yang berkarakter
adalah mereka yang senantiasa menghargai sejarah”
B. Sejarah Masuknya Islam di Dana Mbojo
Para
penulis sejarah Barat dan Indonesia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia dibawa oleh orang arab sendiri.[4] Di
Dana Mbojo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bima sendiri terdapat
masalah yang timbul disebabkan kurangnya informasi-informasi atau
referensi-referensi dari catatan-catatan lokal Mbojo tentang bagaimana
sejarah dan proses masuknya Islam di Dana Mbojo. Untuk membantu
menjelaskan sejarah masuknya Islam di Bima terdapat dua sumber catatan lokal Mbojo
yang dapat kita pedomani yaitu catatan BO Istana dan BO Melayu.[5]
Dari
sumber yang pertama (BO Istana) hanya mencantumkan keterangan bahwa masuknya Islam di Dana Mbojo,
itu ditandai dengan kehadiran para Muballig dari Tallo, Luwu dan Bone di Sape
(nama daerah di ujung timur Bima) pada tanggal 11 Jumadil Awal1028 H. (26 April
1618 M.), para Muballigh itu adalah Daeng Mangali dari Bugis bersama tiga orang
masing-masing berasal dari Tallo, Luwu dan Bone. Dimana kehadiran mereka atas
perintah Sultan Gowa untuk manyampaikan berita bahwa Raja Gowa, Tallo, Luwu dan
Bone sudah memeluk agama Islam. Kemudian diberitakan pula bahwa pada tanggal 15
Rabi’ul Awal 1030 H. (7 Februari 1621), Putra Jena Teke La Ka’I bersama
pengikutnya mengucapkan dua kalimat Syahadat dihadapan para Muballigh itu.[6]
Dari peristiwa itu,
keempat orang petinggi kerajaan tersebut mengganti nama sesuai nama Islam:
1.
La Ka’i
(Ruma Ma Bata Wadu) menjadi Abdul Kahir
2.
La Mbila
menjadi Jalaluddin
3.
Bumi Jara Mbojo
Sape menjadi Awaluddin
4.
Manuru Bata
menjadi Sirajuddin, yang kemudian menjadi Sultan Dompu. Menurut silsilah ia
adalah putera Ma Wa’a Tonggo (Raja Dompu) dengan Isterinya, Puteri Raja
Bima Ma Wa’a Ndapa. [7]
Dari
sumber BO Melayu juga tidak
memberikan informasi yang memadai, hanya menjelaskan tentang peranan Datuk Ri
Bandang dan Datuk Ri Tiro dalam penyiaran Islam di Dana Mbojo pada masa
Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I). kemudian keterangan tentang peranan Ulama Melayu anak cucu Datuk Ri
Bandang dan Datuk Ri Tiro dalam meneruskan perjuangan Datuk Ri Bandang dan
Datuk Ri Tiro yang sudah kembali ke Makassar. Untuk mengatasi kebuntuan yang
ada, maka perlu penulis jelaskan catatan-cacatan lokal dari daerah yang pernah
menjadi pusat penyiaran Islam pada abad 16 M, yaitu cacatan dari Demak dan
Ternate.[8]
Berdasarkan
keterangan dari cacatan lokal yang dimiliki, ternyata pada tahap awal
kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar.
Para Muballigh dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti datang
menyiarkan Islam di Dana Mbojo juga para pedagang Bima pun memliki andil
dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis penulis akan memaparkan
proses kedatangan Islam di Dana Mbojo, yaitu sebagai berikut:
1.
Tahap
Pertama Dari Demak
Sejak
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 M., Demak mengambil alih
peranan Malaka sebagai pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, dan sejak itu
pula Demak berhasil mengislamkan daerah-daerah di Jawa Barat dan di
daerah-daerah Nusantara bagian timur seperti Ternate dan Tidore. Menurut Tome
Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M. pada masa itu pelabuhan Bima
telah ramai dikunjungi oleh para pedagang Nusantara, begitupun para pedagang
Bima menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah
disetiap pelabuhan di wilayah Nusantara. Kemungkinan para pedagang Demak datang
ke Dana Mbojo selain berdagang juga untuk menyiarkan Islam.[9]
[1]Ghazali Ama La Nora, Mutiara
Donggo; Biografi Perjuangan Tuan Guru Abdul Majid Bakry, (Jakarta: NCI
Perss, 2008), h.24
[2]Argawi Kandito, Soekarno”The Leadership Secrets Of” (Depok: Oncor Semesta Ilmu,
20011), cet. I, h. vi
[3]Ada yang mengatakan Mbojo itu berasal dari bahasa Jawa, yaitu bojo yang artinya pasangan.
Ada juga yang mengatakan Mbojo
itu berasal dari bahasa lokal, yaitu babuju
yang artinya berbukit-bukit. Dan untuk selanjutnya penulis akan menelitinya.
[4] Abdullah Tajeb BA., Sejarah Bima Dana Mbojo,(Jakarta: PT Harapan Masa PGRI Jakarta, 1995), cet.I.,h.105
[5] BO adalah catatan lama kerajaan/kesultanan Bima, terkenal dengan BO’ Sangaji Kai.
Bo masih ada sampai sekarang ditulis tahun 1055 H (+
tahun 1645) masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan II), kemudian disalin
ulang dan dilanjutkan oleh para sultan sesudahnya.
[6] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Bima)
(1540-1950), (Bogor: CV Binasti,
2008) h. 56.
[7]M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah
Nusantara, (Mataram: Lengge, 2004), cet. I, h. 52
[9] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 57-60
Penulis: Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.
Koordinator Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.
artikel yang sangat bermanfaat
BalasHapustrima kasih..