Pendidikan dan Pengakuan Hukum Penyandang Disabilitas di Indonesia

M. Jamil, S.H.
www.pusmajambojojogja.or.id – Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu bunyi Pasal 1 Ayat (3) amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut Negara hukum, maka dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Pemberlakuan sama dihadapan hukum tersebut, baik dalam kesehariannya sebagai masyarakat Indonesia maupun dalam penerimaan haknya dalam hal pendidikan, baik fisiknya sehat secara jasmani dan rohati maupun keterbelakangan mental (penyandang disabilitas).

Pasal 28H Ayat (2) amandemen kedua UUD 1945 mengatakan bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan dengan tujuan dasar untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Bangsa Indonesia terdiri dari jutaan penduduk yang hidup bermasyarakat dan mempunyai latar belakang berbeda. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap warga Negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan dasar pembangunan nasional. Hak dan kewajiban yang sama tersebut tidak terkecuali pada masyarakat Indonesia penyandang disabilitas.

Masyarakat Indonesia memiliki hak berpendidikan yang layak serta diakui secara hukum begitu juga penyandang disabilitas. Untuk memperkuat pengakuan penyandang disabilitas, maka pada tanggal 15 April 2016 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas). Disimpan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, serta Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871.

Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan dan pengakuan hukum penyandang disabilitas, alangkah baiknyakita terlebih dulu mengetahui apa itu penyandang disabilitas. Bila melirik dalam Pasal 1 Ayat  (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, menjelaskan bahwa “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental.”

Adanya pengaturan mengenai pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas harus mencakup perlindungan terhadap hak asasi penyandang disabilitas yang sama dan setara dengan hak asasi manusia pada umumnya, tanpa memandang sebelah mata mengenai ada atau tidaknya kecacatan secara fisik atau kecacatan mental.

Pengakuan Hukum Penyandang Disabilitas di Indonesia
Sebelum pengesahan UU Penyandang Disabilitas, sebenarnya jauh-jauh waktu sudah ada peraturan perundang-undangan sebagai upaya untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, diantaranya:  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang ditetapkan oleh Pemerintah pada tanggal 10 November 2011, dimana konvensi internasional tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia sejak tanggal 30 Maret 2007 di New York.; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Selain undang-undang, terdapat juga dalam peraturan daerah, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang termaktub dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Negara yang bermartabat adalah Negara yang menghormati, menghargai, memenuhi dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya tanpa kecuali. Isu tentang penyandang disabilitas atau orang-orang yang memiliki perbedaan kemampuan seringkali dikenal dengan istilah “difable” (differently abled people) atau sekarang dikenal sebagai “disabilitas” adalah masalah yang paling jarang mendapatkan perhatian dari Pemerintah maupun masyarakat. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD)”, Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015]

Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, menyebutkan bahwa Penyandang Disabilitas memiliki hak sebagai berikut: a. hidup; b. bebas dari stigma; c. privasi; d. keadilan dan perlindungan hukum; e. pendidikan; f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; g. kesehatan; h. politik; i. keagamaan; j. keolahragaan; k. kebudayaan dan pariwisata; l. kesejahteraan sosial; m. Aksesibilitas; n. Pelayanan Publik; o. Pelindungan dari bencana; p. habilitasi dan rehabilitasi; q. Konsesi; r. pendataan; s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; dan t. berekspresi.

Dengan hadirnya UU Penyandang Disabilitas, seharusnya kita mengapresiasinya, dengan ini, pemerintah tidak ada lagi alasan pemerintah untuk tidak melindungi hak-hak penyandang disabilitas, karena hak-hak mereka sudah mendarah daging dalam ruh aturan perundang-undangan yang legal formal pemberlakuannya di Indonesia. Mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas berarti mengabaikan undang-undang, mengabaikan undang-undang berarti mengabaikan harga dirinya sebagai pembuat dan pelaksana undang-undang.

Selain berharap pada pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, semua pihak (stake holder) juga tidak tinggal diam, harus bahu membahu dalam upaya mengangkat harkat dan martabat para penyandang disabilitas di Indonesia dengan cara dan kadar kemampuan yang dimiliki.  

Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas
Perhatian orang terhadap penyandang disabilitas mulai banyak, baik itu dalam bentuk riil pendampingan maupun supporting dalam bentuk menyuarakan dalam tulisan, salahsatu yang penulis baca adalah tulisan Akhmad Soleh dengan judul “Kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta terhadap Penyandang Disabilitas” yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume IIII, Nomor 1, Juni 2014/1435. Ahmad Soleh dalam tulisannya tersebut memaparkan tiga pola dalam menangani pendidikan bagi penyandang disabilitas yang selama ini dilakukan oleh lembaga pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Luar Biasa (Segregasi)
Sekolah luar biasa (special school) adalah pendidikan yang menyediakan desain/setting khusus, seperti kelas khusus, sekolah khusus, dan sekolah atau lembaga khusus dengan model diasramakan. Sekolah ini sering kali hanya ditujukan bagi tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Pendidikan semacam ini tidak selalu memenuhi kebutuhan pendididkan anak karena salah satu kelemahannya adalah pendidikan setting segregasinya, yaitu isolasi dan hilangnya kesempatan berbagi dengan teman sebaya dan belajar satu sama lain tentang perilaku dan keterampilan yang relevan.

Tujuan pendidikan luar biasa secara khusus bertujuan: pertama, agar anak berkelainan memahami kelainan yang dideritanya dan kemudian menerimanya sebagai suatu keadaan yang harus dihadapi. Kedua, agar anak berkelainan menyadari bahwa anak penyandang disabilitas merupakan anggota masyarakat, warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara yang lain. Ketiga, agar anak berkelainan berdasarkan kemampuan yang ada padanya sesuai dengan hak dan kewajibannya berusaha dan berjuang menutup dan mengisi kekurangan yang ada padanya agar menjadi warga negara yang mandiri, tidak bergantung pada bantuan dan pertologan orang lain dan pemerintah. Keempat, agar anak berkelainan memiliki pengetahuan dan keterampilan (sesuai dengan kelainannya) sehingga dapat mencari nafkah dengan pengetahuan dan keterampilannya. Kelima, agar anak berkelainan pada akhirnya dapat bergaul dengan masyarakat tanpa perasaan rendah diri dan agar dapat dapat menghargai keagungan Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pendidikan Integrasi
Pendidikan integrasi adalah integrasi siswa penyandang disabilitas ke dalam taman sekolah reguler dan telah dilakukan selama betahun-tahun dan dengan cara yang bebeda-beda. Anak penyandang disabilitas yang mengikuti kelas atau sekolah khusus (SLB) dipindahkan ke sekolah reguler ketika anak penyandang disabilitas dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Anak penyandang disabilitas sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan pengetahuannya, bukan menurut usianya.

3. Pendidikan Inklusif
Pola pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Lebih dari itu, sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak yang menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apa pun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Lembaga GPDLI dan TAGARI sebagai Lembaga Pemerhati Penyandang Disabilitas
Dari berbagai lembaga pemerhati penyandang disabilitas, berikut ini penulis paparkan 2 lembaga, diantaranya beroperasi di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan sekitarnya (lembaga GPDLI) dan yang beroperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya (Komunitas Segenggam Mentari -- TAGARI).

1. Lembaga GPDLI
Lembaga Gerakan Peduli Disabilitas dan Lepra Indonesia (GPDLI) didirikan sejak tanggal 15 Desember 2009. GPDLI ada guna memfasilitasi keterlibatan sektor swasta dengan masyarakat, pemerintah dan organisasi lainnya, mewujudkan transformasi masyakarat yang menyeluruh dan berkelanjutan. Semua tentang GPDLI dapat dilihat pada website www.pedulidisabilitas.org.
Maksud dan tujuan hadirnya GPDLI ini adalah (1) Memulihkan kepercayaan diri dan kemandirian bagi para orang yang pernah mengalami kusta dan yang mengalami cacat/ disabilitas lainnya; (2) Menghilangkan stigma negatif terhadap orang yang mengalami kusta dan penyandang cacat/ disabilitas lainnya; (3) Memberdayakan orang yang pernah mengalami kusta dan masyarakat sekitarnya dalam membangun masa depan pribadi, keluarga dan komunitas yang ada disekitarnya.
GPDLI rutin melaksanakan kegiatan antara lain: (1) Mensejahterakan secara holistik orang dan komunitas yang pernah mengalami kusta dan cacat/disabilitas secara bersamaan (Mensejahterakan semua orang); (2) Mengajak masyarakat lebih peduli kepada orang yang mengalami kusta dan penyandang cacat/disabilitas lainnya.

2. Komunitas Segenggam Mentari (TAGARI)
Komunitas Segenggam Mentari (Tagari) dibentuk oleh relawan-relawan yang mayoritas adalah mahasiswa UGM dari lintas disiplin ilmu (lambat laun, untuk melebarkan sayapnya, Tagari juga merekrut keluarga tidak hanya dari lingkup UGM, melainkan dari kampus lain atau secara individu mempunyai yang Visi Misi, sama seperti Visi Misi Tagari). Tagari bertujuan agar mampu memberikan kontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada di DIY dan sekitarnya. “Tagari” sendiri berasal dari kata Aborigin Tasmania berarti “orang-orang yang berkumpul di sini”.

Terhitung dari tanggal 13 Februari 2016, “Tagari” dibentuk dengan semangat berbagi dan menjadikan komunitas ini bisa memberikan manfaat serta berkontribusi bagi sesama. “Tagari” merupakan komunitas sosial yang peduli terhadap sesama, memiliki jiwa sosial yang tinggi, bahkan merancang kegiatan-kegiatan yang kreatif. “Tagari” juga memiliki harapan agar komunitas yang dibentuk oleh anak-anak muda ini mampu menjadi bagian kecil dari banyaknya aksi-aksi sosial yang ada. Semua tentang Tagari dapat dilihat pada website www.TagariJogja.com.

Visi, Misi dan Tujuan Tagari
Tagari mempunya Visi “Sebagai sarana untuk berkontribusi dalam bidang sosial di Indonesia, khususnya mengenai isu  disabilitas”.
Misi Tagari diantaranya: (1) Memberikan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus; (2) Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum mengenai keberadaan anak  berkebutuhan khusus (3) Memberikan keterampilan kepada anak berkebutuhan khusus hingga mereka siap dan layak kerja (4) Mengadakan acara atau aksi yang mendukung anak berkebutuhan khusus agar tidak  mendapatkan diskriminasi dari masyarakat umum.

Sedangkan Tujuan Tagari adalah supaya anak Indonesia yang berkebutuhan khusus memiliki kepercayaan diri dan keterampilan yang baik, serta terbangunnya paradigma masyarakat umum terhadap anak berkebutuhan khusus ke arah positif.

Saat ini yang menjadi agenda rutinitas Komunitas Segenggam Mentari adalah, pada tiap Sabtu mendampingi siswa-siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhakti Pertiwi Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk sasaran pengabdian.


Penulis: M. Jamil, S.H. 
[Ketua Umum Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta Periode 2015-2016 / Salahsatu Pendiri Komunitas Segenggam Mentari (Tagari) / Eks Ketua II Bagian Eksternal Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY) Periode 2012-2014 / Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada]


NB:
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Nusantara IKPMDI-Yogyakarta (diterbitkan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta) Edisi Mei-Juni 2016.

Pintar dan Cerdas Otak Saja tidak Cukup tanpa Moralitas (Agama)

Andri Ardiansyah, S.Pd.I.
www.pusmajambojojogja.or.id – Menghadapi kehidupan masa depan yang penuh tantangan bangsa Indonesia sangat memerlukan anak-anak muda yang cerdas dan pintar. Sebenarnya cerdas dan pintar saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki keimanan dan ketakwaan. Apalah artinya kepandaian apabila akhlaknya bobrok, banyak kasus yang menunjukan Intelegence Quotient (IQ) yang tinggi tidak selalu identik dengan akhlak yang baik. Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara kecerdasan otak dengan kecerdasan moral yang bersumber pada ajaran Islam.

Seperti berulang-ulang yang telah kita ketahui bahwa anak-anak Indonesia adalah calon generasi penerus. Pada masa depan mereka diharapkan menjadi manusia-manusia yang bisa mengelola negeri ini secara cerdar dan berakhlak. Sehubungan dengan hal itu, kiranya akan lebih baik kalau sejak dini kita memperhatikan secara sungguh-sungguh kualitas pendidikan mereka. Pendidikan yang baik seharusnya tidak saja mementingkan sisi kecerdasan otak, yakni pendidikan yang hanya mementingkan suksesnya transfer ilmu pengetahuan tanpa mempertimbangkan sisi akhlaknya juga.

Misi pendidikan yang hanya mementingkan sisi pendidikan otak belaka harus diubah dan dipadukan dengan pendidikan akhlak. Tujuannya agar anak-anak Indonesia selain memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi sekaligus berakhlak mulia. Bukan sebaliknya, yakni generasi yang pandai dan cerdas, tetapi bermoral bejat. Dengan menciptakan anak-anak Indonesia yang cerdas sekaligus berakhlak mulia diharapkan masa depan bangsa Indonesia menjadi bersianar kembali. Orang yang cerdas dan berakhlak mulia niscaya akan tidak gentar menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

John Naisbitt (filosof barat) mengatakan bahwa milenium ketiga merupakan era kebangkitan nilai-nilai spiritual yang universal yang terkandung dalam agama-agama akan menjadi salah satu alternatif ketika menghadapi era jungkir balik nilai-nilai.

Hanya dengan berbekal ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual itulah manusia masa kini bisa selamat dalam memasuki pergaulan dengan ummat manusia dari segala penjuru negeri. Dengan berbekal nilai-nilai spiritual niscaya bisa menghantarkan kita dalam pergaulan masyarakat dengan rasa aman, tentram dan damai. Nilai-nilai spiritualitas itu akan menjadi filter yang cukup ampuh dalam menghadapi berbagai pengaruh negatif dari sistem nilai yang tidak sesuai dengan identitas kita sebagai manusia Indonesia yang menjujung tinggi nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang terjadi di negeri ini terutama di akibatkan oleh terjadinya krisis moral dalam mengelola perekonomian, kehidupan politik, pendidikan, hukum, dan lain-lain. Akibatnya korupsi, tindak kekerasan, penyelewengan hukum, jual beli kekuasaan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kenakalan remaja, permusuhan antar kelompok masyarakat terjadi di beberapa tempat. Seandainya setiap induvidu memiliki bekal keimanan dan ketakwaan yang tinggi niscaya berbagai bentuk penyelewengan itu tidak terjadi. Orang yang sadar dirinya sebagai hamba yang patuh kepada Robb-nya, secara konsekuensi pasti akan takut melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Agama.

Catatan bagi kita, menurut pengamatan sederhana dari penulis, bahwa moralitas generasi bangsa ini sudah mulai redup, maka sudah seharusnya kita sebagai generasi bangsa ini bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Bung Hatta pernah berkata bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) oleh pemimpin bangsa ini sudah terjadi sepanjang bangsa ini berdiri. Maka semua bentuk patologi (penyakit) sosial sebagai moralitas yang ambruk yang melanda para pejabat negeri ini harus di perbaiki secara baik, sehingga moral bangsa ini di hargai oleh rakyatnya dan lebih-lebih di hargai oleh Rakyat dunia.


Penulis: Andri Ardiansyah, S.Pd.I.
Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta