Maraknya Konten Sadis di Media Sosial

Nawassyarif (baju merah) dan Aris Iwansyah Anggota PUSMAJA.
www.pusmajambojojogja.or.id – Penguasaan teknologi Informasi abad 21 tidak diimbangi dengan pemahaman tentang tata cara, dan aturan penggunaan teknologi yang digunakan. Beberapa bulan terakhir timbul beberapa masalah sangat miris dan mengganggu. Masalah tersebut tentang kejahatan, tetapi bukan tentang seseorang yang dituduh pencopet dihakimi massa. Bukan pula tentang politisi dadakan yang sukses menipu rakyatnya. Kejahatan yang maksudkan  adalah kejahatan moral di media sosial (SosMed). 

Meningkatnya pengguna media sosial dari berbagai kalangan dari kakek-kakek sampai ke anak-anak, di negeri ini sudah tidak asing lagi dengan Twitter, Facebook, Google+, Path, dan ratusan media sosial lainnya. Paling tidak setiap satu orang dari kita memiliki satu jenis media sosial tersebut. Saat ini sudah biasa seseorang mengeksiskan diri di media sosial. Salah satu cara yang paling gampang adalah rajin update dengan kejadian-kejadian yang ada, bahkan ikut berperan pula sebagai salah satu penyebar informasi yang heboh dan terbaru. Informasi yang diupload dan disebar tanpa memikirkan efek negatif dari konten tersebut, baik efeknya saat itu juga maupun efek jangka panjangnya.

Disisi lain, semakin bertambah pula manusia-manusia eksis yang akhirnya menjadi "wartawan dadakan" atau yang bahasa kerennya citizen journalism (jurnalisme warga). Kerjanya sederhana, pas ada peristiwa atau kejadian informasi langsung disebar lewat media sosial, biasanya disertakan foto bahkan video yang diunggah ke akun media sosial, dan jadilah sebuah berita singkat yang di-share ke publik.

Dampak buruknya, banyak orang-orang yang suka menyebarluaskan suatu kejadian dengan alasan untuk menyebarkan berita terupdate. Sering kali kita bisa memperoleh berita mengenai kasus pembunuhan atau kecelakaan yang terjadi di sebuah daerah secara lengkap dengan gambarnya bahkan videonya lewat facebook , mulai dari lokasi kejadian, kendaraan, hingga foto/video korban yang mengalir darahnya. Hal serupa juga terjadi jika ada kasus  perkelahian, perampokan, pembacokan, dan ragam jenis kejahatan mengerikan lainnya. Begitulah titik awal mulainya postingan-postingan tersebut menjadi salah satu bentuk dari kejahatan moral di media sosial.

Perlu kita ketahui bahwa bentuk postingan seperti itu yang menampilkan gambar-gambar mengerikan seperti korban kekerasan dengan luka-luka berdarah, orang yang dibacok, mayat korban kecelakaan yang kepalanya pecah, ususnya terburai, penusukan dan sejenisnya adalah bukan hal yang patut ditampilkan sebagai sebuah berita! ini sangat tidak etis dan tidak bermoral, menakutkan mengganggu, mengerikan bagi sebagian orang, apalagi dilihat oleh orang yang memiliki trauma dengan hal-hal seperti itu. Jiwa mereka bisa saja terguncang, bisakah kita bertanggung jawab jika hal itu terjadi pada mereka?, bahkan dilihat atau ditonton oleh anak-anak!

Secara etika hal tersebut merupakan suatu bentuk tindakan yang tidak bermoral, karena menampilkan gambar yang tidak menunjukkan sisi kemanusiaan kita sama sekali. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan korban atau pun keluarganya melihat gambar tersebut dengan leluasa bertebaran di media sosial. Keuntungan apa pula kita menyebarkan foto mengerikan tersebut? Apakah dengan kata-kata tidak cukup menggambarkan sebuah informasi ataupun berita terbaru yang sedang terjadi? Bagaiman anak-anak yang melihat foto/video tersebut, karna bisa saja meniru kejadian tersebut. Orientasi individu  terikat dengan orang-orang disekitarnya, sesuai dengan  asumsi  dari  teori  ekolodi  media.  West dan Turner (2007), menyatakan bahwa media mempengaruhi  perbuatan  dan  tindakan  dalam  suatu  masyarakat, serta  media mengikat dunia bersama-sama. Ketika informan mengakui senang men-share segala kegiatan yang sedang mereka lakukan melalui media sosial ini memungkinkan untuk meng-update kegiatan mereka. Sayangnya kita masih banyak yang belum sepenuhnya paham dan berpikir mendalam tentang efek dari hal tersebut. 

Satu hal lagi, mengenai orang yang cacat. Seringkali kita seenaknya mengambil gambar mereka lalu meng-upload gambar/video mereka tanpa ijin di media sosial, dengan alasan biar orang-orang lain melihat mereka, kemudian tergerak untuk membantu. Jiwa sosial yang patut dibanggakan tetapi bukan seperti itu cara penyampaiannya, ada etika dan aturan-aturan tertentu mengenai hal tersebut. 

Di sisi lain, bukan hanya etika dan rasa kemanusiaan saja yang tidak memperbolehkan seseorang untuk menyebarluaskan foto/video berita yang berisi konten mengerikan itu, tetapi ada hukum yang mengikat juga. Dalam kaitannya dengan konten yang diunggah sebagai berita, perlu kita ketahui bahwa ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kode Etik Jurnalistik yang mengatur hal tersebut. Kita harus paham betul mengenai hal ini (even if you're just a citizen journalist). Secara hukum kita bisa dituntut, karena itu sudah melanggar UU dan kode etik pers yang seharusnya tidak boleh menyebarkan gambar  yang sadis, kejam, ganas, menghina dan tidak mengenal belas kasihan (Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik). Kode Etik Jurnalistik adalah hal yang menjamin agar setiap kegiatan pemberitaan, dan peliputan yang dilakukan tidak melanggar nilai-nilai, norma serta etika dan rasa kemanusiaan. Dalam hal ini foto-foto yang yang mengerikan tersebut seharusnya tidak boleh ditampilka sebagai pelengkap berita. Kalau pun ditampilkan, maka foto/video tersebut harus disensor (samarkan).  Hal yang sama pun berlaku pada siaran televisi baik itu visual maupun audio visual. Ketentuan Penyiaran di Televisi juga melarang untuk menayangkan hal-hal seperti itu. Itulah kenapa setiap ada berita yang ada unsur kekerasan dan muatan yang sadis itu selalu gambarnya diburamkan.
      
Lemahnya di negeri ini adalah karena saat ini belum ada regulasi yang tepat mengenai aturan penyampaian berita melalui media internet yang melingkup sosial media dan media sejenisnya. Pemerintah belum berupaya untuk membuat sebuah peraturan yang jelas, sehingga sampai saat ini pun masih ada saja oknum-oknum yang seenaknya mempublikasikan gambar/video sadis tersebut lewat sosial media. Alih-alih untuk memberitakan sebuah kejadian atau peristiwa.  Tetapi, dengan tidak adanya regulasi yang paten pun seharusnya kita sebagai manusia yang bermoral sudah tahu bahwa konten yang bermuatan kekerasan dan sadisme itu tidak seharusnya kita ungkap ke internet atau media sosial, apapun alasannya. Kita ini manusia yang punya rasa, punya nilai, yang tahu baik buruknya sesuatu hal. Mempublikasikan hal-hal seperti itu di sosial media, menurut penulis merupakan sebuah bentuk kekerasan moral yang sama sadisnya dengan kejahatan lainnya, perlahan dan dikemudian hari mempunyai efek negatif, sekali pun tujuannya baik, tetapi dengan cara tersebut adalah sebuah kesalahan besar. 

Penulis: Nawassyarif, S.Kom.
Koordinator Bidang Humas, Media dan Publikasi Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta Periode 2015-2016. Sedang Menempuh Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika dan Informatika di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.