Sejarah Islam Dana Mbojo (Part 2)

Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.
www.pusmajambojojogja.or.id – Tulisan ini merupakan makalah mini yang disampaikan pada diskusi rutin Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta pada hari Kamis, 10 Maret 2016 di Aula Asrama Mahasiswa "Putra Abdul Kahir" Bima-Yogyakarta.

2.       Tahap Kedua Dari Ternate
Ternate merupakan satu-satunya Negara Islam di Nusantara bagian timur, yang pada abad 16 M. muncul sebagai pusat penyiaran Islam. Menurut catatan Raja-Raja Ternate, pada masa pemerintahan Sultan Kahirun, Sultan Ternate ketiga (1536-1570 M.) telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate, dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokalul Molukiyah yang diperluas istilahnya khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama antara tiga Negara Islam itu dalam menyebarluaskan Islam di Nusantara, selain untuk kepentingan perniagaan.[1]

Pada Masa Sultan Babullah (1570-1583 M.), Sultan Ternate keempat, usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa beliaulah, para muballigh dan pedagang Ternate meningkatkan dakwah di Dana Mbojo. Pada masa pemerintahan Sultan Babullah ini, Ternate meraih kejayaan dengan memperluas wilayah kekuasaan, sehingga kira-kira pada tahun 1850 M. menguasai kepulauan yang tidak kurang dari 72 banyaknya. Diantara 72 pulau (negeri) yang dikuasai Babullah disebutkan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat.[2] Kemungkinan yang dimaksud dengan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dalam kutipan ini adalah nama lain dari Sanggar dan kalau kemungkinan itu benar, maka pada masa itu Kore (Sanggar) dan Dana Mbojo sudah didatangi oleh para muballigh Ternate untuk menyiarkan Agama Islam.

Kedua referensi dan catatan Raja-raja dan informasi BO’ di atas, penulis memberikan sebuah kesimpulan bahwa Islam masuk dan menyebarkan sayap ke tanah Bima sekitar abad XVI lewat para muballigh dari Demak dan Ternate, namun permasalahannya adalah Islam yang datang dari dua daerah ini tidak menyentuh keluarga kerajaan akan tetapi sebatas dakwah kepada rakyat. Sehingga sampai masuknya abad XVII Islam tidak begitu berpangaruh di tanah Bima dan resminya Islam masuk di tanah Bima sekitar tahun 1621 M. yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H. (7 Februari 1621), yang ditandai dengan syahadatnya Putra Jena Teke La Ka’I bersama pengikutnya dihadapan para Muballigh itu yang di utus oleh Sultan Alauddin Gowa, namun pada saat itu Bima dalam keadaan goncang (politiknya) karena La Ka’I sedang dikejar oleh pamannya sendiri yaitu Salisi yang berambisi untuk menjadi Raja, dia (La Ka’i) hendak dibunuh karena dianggap penghalang baginya untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah dia (Salisi) berhasil membunuh kakaknya La Ka’I yang merupakan Putera Mahkota juga dari Raja Samara.

Demi membantu penyiaran Islam di Bima, maka Jena Teke Abdul kahir meminta bantuan kepada Sultan Alauddin untuk membantu melawan Salisi dan tidak lama kemudian Sultan Alauddin mengirim ekspedisi untuk menyerang Salisi dan pengikutnya setelah misi perdamaian yang dikirim oleh Sultan Alauddin  (Sultan I) di bawah pimpinan Lo’mo Mandalle tidak berhasil, ekspedisi bersenjata dikirim dari Makassar sebanyak tiga kali.[3]

Dua ekspedisi tersebut gagal dan karena merasa keamanan Abdul Kahir terancam, maka Sultan Abdul Kahir beserta pengikutnya hijrah ke Makassar. Di Makassar beliau mendalami Islam dari tiga orang ulama Minangkabau yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Patimang. Kemudian tokoh muda Islam ini dinikahkan dengan puteri bangsawan Makassar, adik dari permaisuri Sultan Gowa yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kussuarang. Dari pernikahan itu lahir seorang putera yang diberi nama oleh orang Makassar “I Ambella” dengan nama Islam Abdul Khair Sirajuddin. Dialah yang kelak akan melanjutkan perjuangan ayahnya Abdul Kahir.[4]

Setelah lama meninggalkan tanah Bima dan pada akhirnya tokoh-tokoh masyarakat Bima datang untuk kembali meminta bantuan kepada sultan Makssar, maka sekitar tahun 1640 M. (Muharram 1050 H) dikirimlah ekpedisi yang ketiga di bawah pimpinan Arrasulli (Karisulli) dan Jalaluddin (La Mbila). Ekspedisi ini berhasil mengalahkan kejahatan Salisi, Salisi bersama pengikutnya berhasil melarikan diri sampai ke Dompu. Ia terus dikejar oleh pengikut Abdul Kahir hingga Salisi terpaksa melarikan diri ke Desa Mata (wilayah Sumbawa) dan tinggal di Mata sampai dia meninggal.[5]

Setelah berita kemanangan Jamaluddin (La Mbila) terdengar di Makassar, maka Sultan Makassar II Muhammad Said (anak Sultan Alauddin pengganti ayahnya yang telah meninggal) mengirimkan Abdul Kahir dan Bumi Jara (Awaluddin) kembali ke tanah tumpah darah (Bima) tercinta dan setelah tiga bulan kemenangan ekspedisi ketiga, yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1050 (5 Juli 1640 M) Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I oleh Majelis Hadat Dana Mbojo dan mulai saat itu berdirilah Negara Islam yang bernama Kesultanan berdasarkan ajaran Islam dan adat (sistim budaya) yang Islami.[6] Jadi, walaupun Islam di tanah Bima telah tersiar sejak abad XVI, namun baru diproklamirkan secara resmi pada abad XVII yaitu 5 Juli 1640 M. yang sampai sekarang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Bima.

A.      Manifestasi Ajaran Islam dalam Motto dan Pegangan Hidup Dou Mbojo
Etika dalam kehidupan dou Mbojo dapat dikenal melalui penelusuran makna sesanti[7] dan beberapa motto yang sudah ada sejak zaman kesultanan Bima. Ajaran tersebut merupakan tuntunan tata kehidupan yang beradab dan dilandasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat serta mengandung norma-norma sebagai prisai rohani dan sara pengendalian diri bagi setiap dou Mbojo.

Sesanti kehidupan dou Mbojo terungkap dalam bahasa Bima (Nggahi Mbojo) yang berbunyi : “Maja Labo Dahu”. Dalam sesanti tersebut ada dua kata kunci, yaitu : Maja dan Dahu. Secara harfiah, Maja berarti “malu” dan Dahu berarti “takut = takwa”.[8]

Maja Labo Dahu berisi perintah kepada seluruh lapisan masyarakat yang telah mengikrarkan kalimat tauhid untuk mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah. Karena sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mereka harus merasa malu dan takut kepada Allah, pada manusia yang lain (masyarakat), alam, lingkungan dan pada dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal yang melanggar ajaran Islam.[9]

Sesanti “Maja Labo Dahu” yang merupakan sumber ajaran etika dalam kehidupan masyarakat Bima, aktualisasinya dijabarkan dalam berbagai motto yang merupakan wahana pendorong semangat dan kegigihan tekad untuk berbuat baik, berwatak kesatria, memupuk rasa solidaritas sosial, mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, menjaga kelestarian alam, dan banyak yang lainnya. Motto yang berasal dari sesanti “Maja Labo Dahu” tersebut telah menjadi etika pemerintahan adat Dana Mbojo.[10]

Berikut adalah beberapa motto dalam kehidupan masyarakatdan pemerintahan Bima yang diungkapkan dalam bahasa Bima :
1.      Tahora nahu, sura dou labo dana, yang bermaksud mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau golongan. Motto ini diucapkan oleh seorang pemimpin dalam mengemban tugas yang telah dititipkan oleh orang banyak kepadanya.

2.      Su’u sa wa’u tundu sa Wale, yang bermaksud seberat apa pun tugas dan kewajiban itu harus dijunjung dan dilaksanakan. Hal inilah yang menjadi sikap kesatria yang dikenal sebagai ciri,watakdan semangat kerja dou Mbojo (Masyarakat Bima).

3.      Taki ndei kataho, ana di wangga ndei toho, yang bermaksud betapapun seorang pemimpin mencintai anak-istrinya, namun tugas dan amanat yang telah dititipkan kepadanya harus diutamakan.

4.      Ka tupa taho, sama tewe sama lembo, yang bermaksud semangat gotong royong (ringan sama dijinjing berat sama dipikul). Hal seperti ini membentuk watak masyarakat menjadi cinta kebersamaan dan solidaritas sosial.

5.      Ntanda sama eda sabua, yang bermaksud bahwa semua warga masyarakat itu pada dasarnya mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan dalam pemberian pelayanan antara yang kaya dengan yang miskin, status, jabatan dan sebagainya. Pemimpin hendaknya memberikan pelayanan yang sama kepada warganya tanpa pandang bulu. Hal ini mencerminkan sikap kepemimpinan masyarakat Bima yang adil, membina persatuan dan kesatuan.

6.      Ndinga pahu labo rawi, mengandung pengertian bahwa seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya. Hal ini sebagai motivasi dan pendorong masyarakat Bima dalam bekerja dan berikhtiar untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan yang direncanakan.

7.      Nggahi rawi pahu, mengandung pengertian bahwa apabila seseorang telah menyatakan tekad atau sesuatu janji maka harus diiringi dengan kerja keras agar apa yang telah diucapkan atau dijanjikan dapat dilaksanakan, dan apabila ia ingkar dengan apa yang telah dijanjikannya atau perkataannya tidak sesuai dengan perbuatannya,  maka seumur hidupnya tidak akan dipercaya oleh orang. Hal ini sebagai pengingat agar masyarakat Bima selalu berusaha untuk berkata yang baik  dan berhati-hati dengan ucapannya agar tidak menjadi bumerang baginya kelak.

8.      Renta ba rera, ka poda na ade, ka rawi ba weki, mengandung pengertian bahwa apa yang diucapkan harus diyakini kebenarannya dan sanggup dikerjakan oleh anggota badan. Hal tersebut sebagai pembina sikap masyarakat Bima agar selalu bertanggungjawab, mentaati peraturan, dan menepati janji.[11]

Motto dan pegangan hidup masyarakat Bima di atas menjadi beberapa dari sekian banyak hasil dari produksi sejarah yang menjadi bagian penting dari kehidupan dan perkembangan masyarakat Islam dana Mobojo. Ada juga Rimpu (Jilbab ala masyarakat Bima), Nggusu Waru (delapan kriteria kepemimpinan ala masyarakat Bima), Ziki Guru Bura (bisa disebut juga sebagai Dali Dou Mbojo yaitu syair-syair tasawuf yang ada di masyarakat yang menjadi salah satu metode penyebaran ajaran Islam di dana Mbojo), dan banyak lagi yang lainnya sebagai hal dari produk sejarah Islam dana Mbojo.





[1] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 61
[2] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 62-65
[3] M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h. 60
[4] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 79
[5] M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h.60
[6] M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h.81
[7]Sesanti adalah suatu ajaran etika yang mengandung nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
[8]Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima, (Mataram: 2008), cet. II, h. 52-53.
[9] M. Hilir Ismail, Menggali Pustaka Terpendam (Butir-Butir Mutiara Budaya Mbojo), (Bima: 2001), h. 46-47.
[10] Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima...,h. 55.
[11] Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima...,h. 55-61


Penulis: Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.
Koordinator Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.

Sejarah Islam Dana Mbojo (Part 1)

Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.
www.pusmajambojojogja.or.id – Tulisan ini merupakan makalah mini yang disampaikan pada diskusi rutin Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta pada hari Kamis, 10 Maret 2016 di Aula Asrama Mahasiswa "Putra Abdul Kahir" Bima-Yogyakarta.

A. Pendahuluan
Menelaah kembali kecerdasan dan kearifan lokal (local wisdom) yang mulai lemah dan tercabut dari akar budayanya oleh datangnya westernisani dan modernisasi di era globalisasi dewasa ini. Kita cenderung lupa dan meninggalkan warisan leluhur kita yang sangat berharga, sehingga kita tidak tahu lagi apa yang telah diwariskan oleh para leluhur kita dahulu. Padahal kita menikmati hidup sekarang berkat kerja keras yang dilakukan oleh para leluhur dan pelaku sejarah di masa lalu. Bukankah kita tahu dan sering kita dengar sebuah pepatah “belajarlah dari pengalaman, karena pengalaman adalah guru yang terbaik”, baik itu pengalaman pribadi atau orang lain.

Karena pengalaman itu adalah sejarah, sesuatu yang telah terjadi. Apa jadinya kalau masyarakat kita sampai tidak menghargai sejarah bangsanya. Masyarakat zaman sekarang bisa hidup seperti sekarang karena adanya sejarah yang telah dibuat oleh para pelaku sejarah di masa lalu. Bangsa yang arif dan bijak adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya. Bangsa-bangsa yang hidup di masa lalu mengalami puncak kejayaannya karena senantiasa belajar dari masa lalu.

Abraham Lincoln mantan president Amerika pernah  mengatakan seperti yang dikutip oleh Ghazali Ama La Nora bahwa “one can not escape history” (tidak ada satu orang pun yang bisa menghindari sejarah). Dan dipertegas oleh mantan president Indonesia, Soekarno; “Bukan saja tidak mungkin menghindar dari sejarah, tetapi jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah.”[1] Bahkan dalam buku Soerakrno The Leadership Seckrets Of yang dikutip oleh Argawi Kandito bahwa Soekarno juga pernah mengatakan “JASMERAH” (jangan sekali-kali melupakan sejarah).[2]

Firman Allah swt.: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Yusuf/12 ayat 111).

Nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang telah diciptakan oleh para pendahulu bisa menjadi pegangan dan sandaran bagi karakteristik masyarakat Mbojo[3] (Bima NTB) menjadikannya contoh teladan dan mengembangkannya dengan mengkombinasikannya dengan kebutuhan hidup masa kini.
“Manusia yang berkarakter adalah mereka yang senantiasa menghargai sejarah”

B.       Sejarah Masuknya Islam di Dana Mbojo
Para penulis sejarah Barat dan Indonesia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang arab sendiri.[4] Di Dana Mbojo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bima sendiri terdapat masalah yang timbul disebabkan kurangnya informasi-informasi atau referensi-referensi dari catatan-catatan lokal Mbojo tentang bagaimana sejarah dan proses masuknya Islam di Dana Mbojo. Untuk membantu menjelaskan sejarah masuknya Islam di Bima terdapat dua sumber catatan lokal Mbojo yang dapat kita pedomani yaitu catatan BO Istana dan BO Melayu.[5]

Dari sumber yang pertama (BO Istana) hanya mencantumkan keterangan  bahwa masuknya Islam di Dana Mbojo, itu ditandai dengan kehadiran para Muballig dari Tallo, Luwu dan Bone di Sape (nama daerah di ujung timur Bima) pada tanggal 11 Jumadil Awal1028 H. (26 April 1618 M.), para Muballigh itu adalah Daeng Mangali dari Bugis bersama tiga orang masing-masing berasal dari Tallo, Luwu dan Bone. Dimana kehadiran mereka atas perintah Sultan Gowa untuk manyampaikan berita bahwa Raja Gowa, Tallo, Luwu dan Bone sudah memeluk agama Islam. Kemudian diberitakan pula bahwa pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H. (7 Februari 1621), Putra Jena Teke La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat Syahadat dihadapan para Muballigh itu.[6]

Dari peristiwa itu, keempat orang petinggi kerajaan tersebut mengganti nama sesuai nama Islam:
1.        La Ka’i (Ruma Ma Bata Wadu) menjadi Abdul Kahir
2.        La Mbila menjadi Jalaluddin
3.        Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin
4.        Manuru Bata menjadi Sirajuddin, yang kemudian menjadi Sultan Dompu. Menurut silsilah ia adalah putera Ma Wa’a Tonggo (Raja Dompu) dengan Isterinya, Puteri Raja Bima Ma Wa’a Ndapa. [7]

Dari sumber  BO Melayu juga tidak memberikan informasi yang memadai, hanya menjelaskan tentang peranan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro dalam penyiaran Islam di Dana Mbojo pada masa Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I). kemudian keterangan tentang  peranan Ulama Melayu anak cucu Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro dalam meneruskan perjuangan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro yang sudah kembali ke Makassar. Untuk mengatasi kebuntuan yang ada, maka perlu penulis jelaskan catatan-cacatan lokal dari daerah yang pernah menjadi pusat penyiaran Islam pada abad 16 M, yaitu cacatan dari Demak dan Ternate.[8]

Berdasarkan keterangan dari cacatan lokal yang dimiliki, ternyata pada tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para Muballigh dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti datang menyiarkan Islam di Dana Mbojo juga para pedagang Bima pun memliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis penulis akan memaparkan proses kedatangan Islam di Dana Mbojo, yaitu sebagai berikut:
1.        Tahap Pertama Dari Demak
Sejak jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 M., Demak mengambil alih peranan Malaka sebagai pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, dan sejak itu pula Demak berhasil mengislamkan daerah-daerah di Jawa Barat dan di daerah-daerah Nusantara bagian timur seperti Ternate dan Tidore. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M. pada masa itu pelabuhan Bima telah ramai dikunjungi oleh para pedagang Nusantara, begitupun para pedagang Bima menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah disetiap pelabuhan di wilayah Nusantara. Kemungkinan para pedagang Demak datang ke Dana Mbojo selain berdagang juga untuk menyiarkan Islam.[9]





[1]Ghazali Ama La Nora, Mutiara Donggo; Biografi Perjuangan Tuan Guru Abdul Majid Bakry, (Jakarta: NCI Perss, 2008), h.24
[2]Argawi Kandito, Soekarno”The Leadership Secrets Of” (Depok: Oncor Semesta Ilmu, 20011), cet. I, h. vi
[3]Ada yang mengatakan Mbojo itu berasal dari bahasa Jawa, yaitu bojo yang artinya pasangan.  Ada juga yang mengatakan Mbojo itu berasal dari bahasa lokal, yaitu babuju yang artinya berbukit-bukit. Dan untuk selanjutnya penulis akan menelitinya.
[4] Abdullah Tajeb BA., Sejarah Bima Dana Mbojo,(Jakarta: PT Harapan Masa PGRI Jakarta, 1995), cet.I.,h.105
[5] BO adalah catatan lama kerajaan/kesultanan Bima, terkenal dengan BO Sangaji Kai. Bo masih ada sampai sekarang ditulis tahun 1055 H (+ tahun 1645) masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan II), kemudian disalin ulang dan dilanjutkan oleh para sultan sesudahnya.
[6] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Bima) (1540-1950), (Bogor: CV Binasti,  2008) h. 56.
[7]M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, (Mataram: Lengge, 2004), cet. I, h. 52
[8] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 56
[9] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 57-60


Penulis: Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.


Koordinator Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.



PUSMAJA Mbojo-Yogyakarta Gelar Diskusi Sejarah Islam Dana Mbojo

Suasana saat Diskusi PUSMAJA.
Yogyakarta, pusmajambojojogja.or.id – Pengurus Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta Periode 2015-2017 menyelenggarakan Kajian Rutin pada Hari Kamis, 10 Maret 2016 jam 20.00-selesai di Aula Asrama Mahasiswa “Putra Abdul Kahir” Bima Yogyakarta.

Tema yang diangkat dalam pertemuan ilmiah ini yakni “Islam di Dana Mbojo”, dengan menghadirkan pemateri yang berkompeten didalamnya yakni, pemateri pertama disampaikan oleh Muhammad Al-Irsyad, S.K.M. (Koordinator Bidang Kajian dan Riset Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta). Pemateri kedua yakni saudara Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I. (Koordinator Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta).

Di sela-sela acara berlangsung, Ketua Umum  Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta saudara M. Jamil, S.H. mengatakan bahwasannya diskusi semacam ini perlu untuk dilakukan secara terus menerus agar kesadaran kita sebagai warga Mbojo terus terpacu untuk mengetahui dan memahami seutuhnya tentang Mbojo, “mari kita terus memacu semangat kita untuk mengetahui lebih jauh tentang identitas kita sebagai orang mbojo,” ucap M. Jamil, S.H.


Pemateri pertama saudara Muhammad Al-Irsyad, S.K.M. menyampaikan beberapa point penting terkait keislaman di Mbojo. “Agama lahir sebagai penyelaras hubungan manusia dengan manusia, dengan alam, dan dengan tuhan itu sendiri. Agama pada prinsip dapat digunakan untuk menjadi alat pemersatu sehingga problem yang ada dalam kehidupan masyarakat bisa terselasaikan dan diselaraskan. Bima dengan mayoritas  Islam harusnya bisa menciptakan kedamaiaan dan membawa kesejateraan bagi seluruh masyarakat. Agama harus mampu dijadikan sebagai fondasi terutama persoalan moral dan etika. Masyarakat harus mampu menjadikan agama sebagai pilar proses harmonisasi kehidupan masyarakat. Agama tidak boleh ditempatkan pada ruang yang hampa. Agama memiliki ruang yang luas.” Beber Muhammad Al-Irsyad, S.K.M. dalam pemaparannya.


Sementara pemateri kedua, selaku Koordinator Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta saudara Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I. memaparkan bahwasannya menelaah kembali kecerdasan dan kearifan lokal (local wisdom) yang mulai lemah dan tercabut dari akar budayanya oleh datangnya westernisani dan modernisasi di era globalisasi dewasa ini. Kita cenderung lupa dan meninggalkan warisan leluhur kita yang sangat berharga, sehingga kita tidak tahu lagi apa yang telah diwariskan oleh para leluhur kita dahulu. Padahal kita menikmati hidup sekarang berkat kerja keras yang dilakukan oleh para leluhur dan pelaku sejarah di masa lalu. “Kesadaran sejarah adalah cerminan dari kesadaran akan identitas dan nilai. Sadar sejarah berada, merupakan sadar bahwa kita adalah siapa, dari mana, dan untuk apa.” Cetus saudara Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I. dalam pemaparannya.

Antusias para peserta sangat diskusi sangat tinggi dan tidak bisa di elakkan, terbukti kurang lebih 50 orang peserta memadati ruang aula asrama, pesertanya yang terdiri dari berbagaimacam lembaga dibawah naungan KEPMA dan IKPM Dompu. Interaksi dua arah pun terjadi antara peserta dan pemateri.

Pada kesempatan itu, hadir juga diantaranya Bendahara PUSMAJA Mbojo-Yogyakarta saudari Erni Yustissiani, Ketua KEPMA Bima-Yogyakarta saudara Arif Rahman.

Apabila pembaca ingin mengetahui dan membaca makalah pada acara tersebut, silakan klik di sini dan klik di sini. [Tim Media PUSMAJA].


Bahasa Bima "Kalembo Ade": Kajian Pragmatik

Arif Bulan.
Abstrak
Teori pragmatik mengatakan bahwa mengkaji arti dan makna harus dilihat dari maksud, tujuan dan konteks dimana bahasa itu diucapkan. Dalam mempelajari makna bahasa Bima “kalembo ade” perlu dilihat dari berbagai aspek stilistika, affeksi dan tema, sehingga arti dan makna “kalembo ade” dapat diresapi dan dipahami dari beberapa sedut pandang. Tulisan ini mennggunakan pendekatan linguistik antropologis untuk dapat memehami fenomena dan keunikan makna bahasa yang diucapkan pengguna bahasa tersebut.

Kata kunci: Bahasa, Makna “kelembo ade”, Pragmatik.  


Pendahuluan

Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya dan bahasa. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki banyak daerah, tiap-tiap daerah memiliki bahasa masing-masing. Bima adalah salah satu daerah kabupaten yang berada di pulau Sumbawa provinsi Nusa Tenggara Barat. Bima mayoritas didiami suku mbojo, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bima (nggahi mbojo) .

Dalam bahasa Bima, ada satu ungkapan yang unik dan multi tafsir. Ungkapan tersebut  yaitu “kalembo ade”. Ungkapan ini seperti yang disebutkan diatas adalah ungkapan yang multi tafsir, karena ungkapan tersebut bisa digunakan dalam beberapa konteks yang berbeda dan setiap konteks yang disebutkan memiliki makna yang berbeda, sehinnga ungkapan ini menurut penulis masuk dalam ranah kajian pragmatik. Di mana kajian pragmatik itu sendiri mengkaji masalah makna bahasa yang ditinjau dari konteks pembicaraan.

Ungkapan “kalembo ade” bisa diartikan sebagai ungkapan terimakasih, ungkapan bela sungkawa, ungkapan kesedihan, ungkapan menghormati, ungkapan menghargai dan ungkapan saat perpisahan. Keunikan dalam makna pragmatik inilah kemudian penulis mencoba untuk mengkaji dalam beberapa aspek. Aspek-aspek yang coba disentuh oleh ungkapan “kalembo ade” antara lain, aspek stilistic meaning, affective meaning danthematic meaning.

Bila dilihat dari sudut pandang pragmatik,ungkapan “kalembo ade” ini bisa menimbulkan hal ketaksaan, Sehingga masyarakat Bima pada umumnya menggunakan ungkapan ini dalam berbagai konteks dan situasi dimana ungkapan itu diucapkan dan dimana proses komunikasi itu terjadi. Ungkapan “kalembo ade” bisa dipengaruhi beberapa situasi sehingga penggunaanya sangat beragam. Kalau dilihat dari aspek formal dan nonformal ungkapan ini bisa mencul dimanapun.


Landasan Teori dan Metode    

Menurut Subroto (2011: 1) bahasa merupakan pengetahuan yang tersimpan dari dalam dan terstruktur, dan dikuasai serta digunakan dalam komunikasi secara umum. Dalam bahasa tersimpan arti sebagai sistem tanda, kemudian dari tanda ini dipahami sebuah bahasa dengan baik dan benar. Sebagai pengguna bahasa, kita secara bebas memakai bahasa tersebut namun harus tetap mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku sehingga pahasa tersebut bisa dipahami, dala hal ini peran pendekata pragmatic sangta dibutuhkan untuk mengetahui arti dan makna ungkapan atau bahasa yang digunakan lawan tutur.

Mengkaji masalah Arti dan makna dalam komunikasi harus mengikutsertakan beberapa pendekatan atau aspek supaya maksud dari tuturan bisa mempunyai nilai dari sisi pendengar atau lawan tutur. Seperti yang dikatakan Leech melalui Subroto (2011: 49-55) arti atau makna stilistik berkaitan dengan warna dialek geografis atau warna dialek sosial penutur. Arti atau makna affektif berkaitan dengan perasaan penuturnya, sedangkan arti atau makna tematik adalah bagaimana penutur mengorganisasikan tuturanya.   

Pragmatik menurut Levinson melalui Clark (2009: 13) adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan konteks yang  berdasarka pada pemahaman bahasa. Sebenarnya kajian pragmatik tidak jauh berbeda dengan kajian semantik karena keduanya mengkaji masalah arti dan makna, namun ada hal-hal mendasar yang membedakan antara  keduanya. Semantik mengkaji arti lingual yang  yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji arti dan makna berdasarkan konteks yang biasa disebut “the speakers’s meaning” atau arti menurut tafsiran penutur (Clark, 2009: 13).

Berbahasa sama halnya dengan berkomunikasi, dimana proses komunikasi melibatkan dua orang atau lebih dalam penggunaanya. Dalam bahasanya masyarakat Bima berkomunikasi dengan lawan tuturnya menggunakan kaedah-kaedah bahasa pada umumnya, namun dalam hal memaknai makna yang terkandung didalamnya perlu analisa dari lawan tutur, walaupin kata-kata yang diucapkan cukup teratur.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan Clark mengenai pragmatik, Yule (1996: 5) pun mengatakan bahwa pragmatik mempelajari tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Mempelajari bahasa dan kajiannya adalah sebuah keharusan dalam pendekatan pragmatik, jika tidak maka makna yang terkandung dalam bahasa tersebut tidak bisa dimaknai secara sempurna. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka dan jenis-jenis tindakannya (Yule, 2009: 5).

Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan linguistik antropologis.Linguistik Antropologis menafsirkan fenomena bahasa untuk mendapatkan pemahaman bahasa dan budaya penuturnya (Foley, 1997: 3). Sebagai diketahui, dalam penelitian bahasa terdapat dua pendekatan utama dalam melihat fenomena bahasa. Yang pertama, melihat fenomena bahasa yang bersifat otonom atau terpisah dari hal lain di luar bahasa. Pendekatan kedua melihat fenomena bahasa dalam kaitanya dengan hal lain diluar bahasa (Suhandano 2015: 99). 


Pembahasan

Bahasa “kalembo ade” dalam pandangan masyarakat Bima merupakan bahasa yang halus dalam pemakaianya, untuk memahami maksud dan tujuan penutur menayampaikan ungkapan “kelembo ade” adalah harus melihat konteks dalam pembicaraan. Contoh:
a.    Saya sedang menghadapi masalah finansial karena ayah sudah tidak bekerja lagi.
b.    Saya pamit dulu ya paman! doakan semoga saya menjadi orang sukses.
c.    Saya pulang duluan ya, anak saya sedang menunggu di rumah.
d.   “kalembo ade” Beginilah keadaan rumah saya, semua serba kosong.

Contoh yang pertama, lawan bicara menangkap makna dari penutur pertama bahwa sipenutur pertama  sedang tidak punya uang. Maksud penutur pertama dalam kalimat diatas adalah ingin meminjam uang. Ungkapan penolakan  halus yang diucapkan oleh lawan bicara adalah “kalembo ade”. Makna dari “kalembo ade” adalah, ‘maaf saya tidak punya cukup uang untuk membantu kamu’. Ungkapan “kalembo ade” ini cukup pendek namun artinya sangat luas dilihat dari maksud si penutur.

Contoh yang kedua, terjadi percakapan antara keponakan dan pamanya. Si keponakan bermaksud untuk berpamitan dan akan pergi untuk merantau. Si paman tahu bahwa si ponakan hendak ingin pergi merantau. Pamanya mengatakan “kalembo ade”, maksud dari “kalembo ade” ini adalah ‘si paman meminta keponakannya untuk bekerja keras agar menjadi orang sukses’.

Contoh ketiga, terjadi percakapan antara dua orang, seorang ibu dan temanya. Dari contoh diatas, temanya sudah bisa mengetahui maksud dari seorang ibu itu, bahwa dia ingin cepat-cepat pulang karena takut anaknya menangis di rumah. Respon  dari temanya itu bisa berupa ungkapan “kalembo ade” yang artinya ‘hati-hati dijalan’.  Ini merupakan afeksi atau perhatian seorang teman kepada seorang ibu tersebut.

Contoh yang terakhir, percakapan seorang teman yang  bertamu ke rumah kerabat. Dalam contoh terakhir ini, seorang kerabat yang mengataka “kalembo ade” terhadap tamunya, maksud dari ungkapan kalembo ade itu bisa di maknai sebagai ucapan maaf karena mungkin jamuan di rumahnya tidak enak atau tidak sempurna.

Dari contoh-contoh diatas bahwa bahasa Bima “kalembo ade” memiliki beragam makna dilihat dari konteks pembicaraan. Habermas mengatakan (1998: 9) bahwa teori makna adalah bagaimana meninggalkan makna dari setiap kalimat yang diucapakan dan kalimat itu akan menjadi asumsi makna. Jadi senada seperti yang dikatakan Habermes diatas bahwa, dari setiap kalimat yang diperbincangkan dari makna “kelembo ade” memilki makna yang berbeda-beda manurut asumsi dan konteks pembicaraan tersebut.

Simpulan dan Saran

Dari beberapa contoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Bima “kalembo ade” memiliki makna yang luas dan unik yang bergantung pada maksud, tujuan dan konteks dari penutur amsing-masing. Jika terdapat kekurangan dari tulisan ini, mohon dimaklumi karena yang memiliki kesempurnaan hanya Allah SWT semata, saya mengharapkan jika ada saran dan perbaikan dari para pembaca mohon dikirim ke email yang tertera diatas.


Daftar Pustaka

Clark, V. Eve. 2009. First Language Acquisition. New York : Cambridge University Press

Foley, W. A. 1997. Antropological  Linguistic. Massacuttes : Blackwell Publisher Inc

Habermas. Jurgen. 1998. On The Pragmatic of Communication. Cambridge. Massacuttes : The MIT Press     

Subroto. Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta : Cakrawala Media

Suhandano. 2015. LingTera vol. Mei. Leksikon Samin Sebagai Cermin Pandangan Dunia Penuturnya. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta Press

Yule. George. 1996. Pragmatics. Oxford University press


Penulis: Arif Bulan
Email: arifbulan1@gmail.com