Home » , , » Sejarah Islam Dana Mbojo (Part 2)

Sejarah Islam Dana Mbojo (Part 2)

Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.
www.pusmajambojojogja.or.id – Tulisan ini merupakan makalah mini yang disampaikan pada diskusi rutin Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta pada hari Kamis, 10 Maret 2016 di Aula Asrama Mahasiswa "Putra Abdul Kahir" Bima-Yogyakarta.

2.       Tahap Kedua Dari Ternate
Ternate merupakan satu-satunya Negara Islam di Nusantara bagian timur, yang pada abad 16 M. muncul sebagai pusat penyiaran Islam. Menurut catatan Raja-Raja Ternate, pada masa pemerintahan Sultan Kahirun, Sultan Ternate ketiga (1536-1570 M.) telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate, dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokalul Molukiyah yang diperluas istilahnya khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama antara tiga Negara Islam itu dalam menyebarluaskan Islam di Nusantara, selain untuk kepentingan perniagaan.[1]

Pada Masa Sultan Babullah (1570-1583 M.), Sultan Ternate keempat, usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa beliaulah, para muballigh dan pedagang Ternate meningkatkan dakwah di Dana Mbojo. Pada masa pemerintahan Sultan Babullah ini, Ternate meraih kejayaan dengan memperluas wilayah kekuasaan, sehingga kira-kira pada tahun 1850 M. menguasai kepulauan yang tidak kurang dari 72 banyaknya. Diantara 72 pulau (negeri) yang dikuasai Babullah disebutkan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat.[2] Kemungkinan yang dimaksud dengan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dalam kutipan ini adalah nama lain dari Sanggar dan kalau kemungkinan itu benar, maka pada masa itu Kore (Sanggar) dan Dana Mbojo sudah didatangi oleh para muballigh Ternate untuk menyiarkan Agama Islam.

Kedua referensi dan catatan Raja-raja dan informasi BO’ di atas, penulis memberikan sebuah kesimpulan bahwa Islam masuk dan menyebarkan sayap ke tanah Bima sekitar abad XVI lewat para muballigh dari Demak dan Ternate, namun permasalahannya adalah Islam yang datang dari dua daerah ini tidak menyentuh keluarga kerajaan akan tetapi sebatas dakwah kepada rakyat. Sehingga sampai masuknya abad XVII Islam tidak begitu berpangaruh di tanah Bima dan resminya Islam masuk di tanah Bima sekitar tahun 1621 M. yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H. (7 Februari 1621), yang ditandai dengan syahadatnya Putra Jena Teke La Ka’I bersama pengikutnya dihadapan para Muballigh itu yang di utus oleh Sultan Alauddin Gowa, namun pada saat itu Bima dalam keadaan goncang (politiknya) karena La Ka’I sedang dikejar oleh pamannya sendiri yaitu Salisi yang berambisi untuk menjadi Raja, dia (La Ka’i) hendak dibunuh karena dianggap penghalang baginya untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah dia (Salisi) berhasil membunuh kakaknya La Ka’I yang merupakan Putera Mahkota juga dari Raja Samara.

Demi membantu penyiaran Islam di Bima, maka Jena Teke Abdul kahir meminta bantuan kepada Sultan Alauddin untuk membantu melawan Salisi dan tidak lama kemudian Sultan Alauddin mengirim ekspedisi untuk menyerang Salisi dan pengikutnya setelah misi perdamaian yang dikirim oleh Sultan Alauddin  (Sultan I) di bawah pimpinan Lo’mo Mandalle tidak berhasil, ekspedisi bersenjata dikirim dari Makassar sebanyak tiga kali.[3]

Dua ekspedisi tersebut gagal dan karena merasa keamanan Abdul Kahir terancam, maka Sultan Abdul Kahir beserta pengikutnya hijrah ke Makassar. Di Makassar beliau mendalami Islam dari tiga orang ulama Minangkabau yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Patimang. Kemudian tokoh muda Islam ini dinikahkan dengan puteri bangsawan Makassar, adik dari permaisuri Sultan Gowa yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kussuarang. Dari pernikahan itu lahir seorang putera yang diberi nama oleh orang Makassar “I Ambella” dengan nama Islam Abdul Khair Sirajuddin. Dialah yang kelak akan melanjutkan perjuangan ayahnya Abdul Kahir.[4]

Setelah lama meninggalkan tanah Bima dan pada akhirnya tokoh-tokoh masyarakat Bima datang untuk kembali meminta bantuan kepada sultan Makssar, maka sekitar tahun 1640 M. (Muharram 1050 H) dikirimlah ekpedisi yang ketiga di bawah pimpinan Arrasulli (Karisulli) dan Jalaluddin (La Mbila). Ekspedisi ini berhasil mengalahkan kejahatan Salisi, Salisi bersama pengikutnya berhasil melarikan diri sampai ke Dompu. Ia terus dikejar oleh pengikut Abdul Kahir hingga Salisi terpaksa melarikan diri ke Desa Mata (wilayah Sumbawa) dan tinggal di Mata sampai dia meninggal.[5]

Setelah berita kemanangan Jamaluddin (La Mbila) terdengar di Makassar, maka Sultan Makassar II Muhammad Said (anak Sultan Alauddin pengganti ayahnya yang telah meninggal) mengirimkan Abdul Kahir dan Bumi Jara (Awaluddin) kembali ke tanah tumpah darah (Bima) tercinta dan setelah tiga bulan kemenangan ekspedisi ketiga, yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1050 (5 Juli 1640 M) Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I oleh Majelis Hadat Dana Mbojo dan mulai saat itu berdirilah Negara Islam yang bernama Kesultanan berdasarkan ajaran Islam dan adat (sistim budaya) yang Islami.[6] Jadi, walaupun Islam di tanah Bima telah tersiar sejak abad XVI, namun baru diproklamirkan secara resmi pada abad XVII yaitu 5 Juli 1640 M. yang sampai sekarang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Bima.

A.      Manifestasi Ajaran Islam dalam Motto dan Pegangan Hidup Dou Mbojo
Etika dalam kehidupan dou Mbojo dapat dikenal melalui penelusuran makna sesanti[7] dan beberapa motto yang sudah ada sejak zaman kesultanan Bima. Ajaran tersebut merupakan tuntunan tata kehidupan yang beradab dan dilandasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat serta mengandung norma-norma sebagai prisai rohani dan sara pengendalian diri bagi setiap dou Mbojo.

Sesanti kehidupan dou Mbojo terungkap dalam bahasa Bima (Nggahi Mbojo) yang berbunyi : “Maja Labo Dahu”. Dalam sesanti tersebut ada dua kata kunci, yaitu : Maja dan Dahu. Secara harfiah, Maja berarti “malu” dan Dahu berarti “takut = takwa”.[8]

Maja Labo Dahu berisi perintah kepada seluruh lapisan masyarakat yang telah mengikrarkan kalimat tauhid untuk mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah. Karena sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mereka harus merasa malu dan takut kepada Allah, pada manusia yang lain (masyarakat), alam, lingkungan dan pada dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal yang melanggar ajaran Islam.[9]

Sesanti “Maja Labo Dahu” yang merupakan sumber ajaran etika dalam kehidupan masyarakat Bima, aktualisasinya dijabarkan dalam berbagai motto yang merupakan wahana pendorong semangat dan kegigihan tekad untuk berbuat baik, berwatak kesatria, memupuk rasa solidaritas sosial, mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, menjaga kelestarian alam, dan banyak yang lainnya. Motto yang berasal dari sesanti “Maja Labo Dahu” tersebut telah menjadi etika pemerintahan adat Dana Mbojo.[10]

Berikut adalah beberapa motto dalam kehidupan masyarakatdan pemerintahan Bima yang diungkapkan dalam bahasa Bima :
1.      Tahora nahu, sura dou labo dana, yang bermaksud mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau golongan. Motto ini diucapkan oleh seorang pemimpin dalam mengemban tugas yang telah dititipkan oleh orang banyak kepadanya.

2.      Su’u sa wa’u tundu sa Wale, yang bermaksud seberat apa pun tugas dan kewajiban itu harus dijunjung dan dilaksanakan. Hal inilah yang menjadi sikap kesatria yang dikenal sebagai ciri,watakdan semangat kerja dou Mbojo (Masyarakat Bima).

3.      Taki ndei kataho, ana di wangga ndei toho, yang bermaksud betapapun seorang pemimpin mencintai anak-istrinya, namun tugas dan amanat yang telah dititipkan kepadanya harus diutamakan.

4.      Ka tupa taho, sama tewe sama lembo, yang bermaksud semangat gotong royong (ringan sama dijinjing berat sama dipikul). Hal seperti ini membentuk watak masyarakat menjadi cinta kebersamaan dan solidaritas sosial.

5.      Ntanda sama eda sabua, yang bermaksud bahwa semua warga masyarakat itu pada dasarnya mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan dalam pemberian pelayanan antara yang kaya dengan yang miskin, status, jabatan dan sebagainya. Pemimpin hendaknya memberikan pelayanan yang sama kepada warganya tanpa pandang bulu. Hal ini mencerminkan sikap kepemimpinan masyarakat Bima yang adil, membina persatuan dan kesatuan.

6.      Ndinga pahu labo rawi, mengandung pengertian bahwa seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya. Hal ini sebagai motivasi dan pendorong masyarakat Bima dalam bekerja dan berikhtiar untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan yang direncanakan.

7.      Nggahi rawi pahu, mengandung pengertian bahwa apabila seseorang telah menyatakan tekad atau sesuatu janji maka harus diiringi dengan kerja keras agar apa yang telah diucapkan atau dijanjikan dapat dilaksanakan, dan apabila ia ingkar dengan apa yang telah dijanjikannya atau perkataannya tidak sesuai dengan perbuatannya,  maka seumur hidupnya tidak akan dipercaya oleh orang. Hal ini sebagai pengingat agar masyarakat Bima selalu berusaha untuk berkata yang baik  dan berhati-hati dengan ucapannya agar tidak menjadi bumerang baginya kelak.

8.      Renta ba rera, ka poda na ade, ka rawi ba weki, mengandung pengertian bahwa apa yang diucapkan harus diyakini kebenarannya dan sanggup dikerjakan oleh anggota badan. Hal tersebut sebagai pembina sikap masyarakat Bima agar selalu bertanggungjawab, mentaati peraturan, dan menepati janji.[11]

Motto dan pegangan hidup masyarakat Bima di atas menjadi beberapa dari sekian banyak hasil dari produksi sejarah yang menjadi bagian penting dari kehidupan dan perkembangan masyarakat Islam dana Mobojo. Ada juga Rimpu (Jilbab ala masyarakat Bima), Nggusu Waru (delapan kriteria kepemimpinan ala masyarakat Bima), Ziki Guru Bura (bisa disebut juga sebagai Dali Dou Mbojo yaitu syair-syair tasawuf yang ada di masyarakat yang menjadi salah satu metode penyebaran ajaran Islam di dana Mbojo), dan banyak lagi yang lainnya sebagai hal dari produk sejarah Islam dana Mbojo.





[1] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 61
[2] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 62-65
[3] M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h. 60
[4] M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 79
[5] M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h.60
[6] M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h.81
[7]Sesanti adalah suatu ajaran etika yang mengandung nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
[8]Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima, (Mataram: 2008), cet. II, h. 52-53.
[9] M. Hilir Ismail, Menggali Pustaka Terpendam (Butir-Butir Mutiara Budaya Mbojo), (Bima: 2001), h. 46-47.
[10] Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima...,h. 55.
[11] Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima...,h. 55-61


Penulis: Yan Yanz Supriatman, S.Pd.I.
Koordinator Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar