Home » , , » Kepemilikan Buku dan Bukti Kepantasan Para Pemikir

Kepemilikan Buku dan Bukti Kepantasan Para Pemikir

Iskandar, S.Sos.
www.pusmajambojojogja.or.id  – Ketika ingin dikenang maka menulislah. Bung Hatta, Pramudya dan para tokoh bangsa lainnya semua dikenang karena mereka menulis. Begitu berharganya sebuah tulisan sekelas  Bung Hatta menjadikan buku sebagai maharnya ketika dia menikah. Hal ini dilakukan  bukan karena alasan dia tidak memiliki uang, melainkan karena dia merasa buku adalah harga yang pantas dan terhingga bagi seorang pemikir. Buku bagi Bung Hatta adalah harta tertinggi dari setiap manusia. Tak tergantikan dan tak sepanding dengan tumpukan materi apapun. Setidaknya kita bisa buktikan betapa kecintaannya terhadap buku ketika dia meninggal, sekitar 10 ribu buku dia tinggalkan. Buku yang dia kumpulkan selama hidupnya. Dia benar2 hidup sebagai pemikir dan intelektual sejati. Jumlah buku menjadi simbol kecintaanya pada alam pemikiran. Tulisannya terdokumentasi dengan baik akan menjadi penghubung masa lalu dan masa depan manusia. Itulah keyakinannya.

Bagi seorang penulis,  ketika tulisannya terus dibaca dan memberi manfaat bagi manusia lainnya. Maka sepanjang itu pula manusia itu akan hidup dalam aliran doa dan puja puji yang pantas. Bung Hatta dan penulis kenamaan dibangsa Ini menyadiri itu. Tapi ingat! Menulis adalah keperpihakan, pembelaan dan bicara tentang keadilan,  tampa poin ini maka tulisan itu tak layak untuk dibaca dan dihargai. Itulah semangat yang dipegang oleh para penulis kenamaan kita dimasa lalu,  sehingga dengan suka rela terus mengalirkan ide dan gagasan untuk di dokumentasikan. Serta jauh dari kesan hiruk pikuk materi. Seorang Pramudya adalah bukti dari itu, dan lahir dengan prinsip yang teguh dan memenuhi kepantasan.

Buku menjadi cermin dari kecintaan manusia pada dunia kelak dimasa dia sudah tiada. Lewat buku pula manusia bisa merefleksikan gambaran kehidupan baik dimasa lalu hingga dimasa depan. Kepantasan bagi pencinta buku dan yang  membacanya sangat patut untuk dihargai. Buku ketika dimiliki dan dibaca bagaikan air yang terus mengalir dalam batas yang terhingga. Kini kecintaan dan kebanggaan atas kepemilikan buku yang dibaca seakan pudar oleh jaman, yang sadar atau tidak memaksa manusia untuk berfikir dengan pendekatan angka. Alam pikiran dan intelegensi seoalah dinilai dari penguasaan atas angka-angka yang sangat materialistik. Kalau saja di survei berapa buku yang dimiliki oleh setiap mahasiswa yang kuliah diseluruh perguruan tinggi mungkin hasilnya akan mencengangangkan. Saya kira para pembaca bisa berbagi tentang ini nantinya.

Saya ingin kita menjadi manusia yang merendah, lalu mengaku saja, bahwa buku dan bacaan bukanlah barometer bagi sebagian calon intelektual yang menikmati masa-masa indahnya menjadi mahasiswa di setiap perguruan tinggi saat ini. Hal ini cukup sederhana untuk membuktikannnya. Cukup bertanya pada diri masing-masing berapakah buku yang kau beli dalam sebulan? berapakah buku yang kaubeli dalam setahun.? Berapakah buku yang kau punya selama kau menjadi mahasiswa.? Berapakah buku yang ingin kau kumpulkan dan kau baca sepanjang masa hidupmu.? Saya kira pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang sangat pantas bagi para intektual siapapun namannya dan apapun posisinya. Ketika pertanyaan ini belum terpikirkan apalagi untuk menjawab maka asumsi di atas sangatlah benar.

Jumlah bacaan dan kepemilikkan buku adalah bagian dari jati diri seorang pemikir. Pantas tidaknya seseorang dinilai bisa diukur dari jumlah dan buku dan bacaannya. Sangatlah wajar ketika tiba-tiba muncul orang-orang yang mengaku pemikir tapi selama hidup dia hanya membuka lembaran awal dari setiap buku yang dia punya. Sebua ironi bagi kita saat ini ketika produksi buku kita kalah jauh dari tetangga kita dikawasan Asia Tenggara. Saya pada sudut pandang ini ingin mengatakan bahwa generasi terdidik hanya bisa lahir ketika mereka mau membaca dan memiliki buku. Buku dimasa lalu adalah simbol perlawanan, simbol kedikjayaan seorang manusia. Para pendiri bangsa setidaknya sudah meletakan dan membuktikan itu. Tapi kalau buku sudah menjadi asing dikalangan para pemikir, dibeli tapi tidak dibaca, dibuka tapi hanya lembaran awal. Maka pada titik ini kewibawaan dan keteladanan serta kepantasan para intelektual tinggallan menjadi mitos. Mempercayai penebar mitos adalah sebuah kejahilian di era modern. 

Buku takakan  pernah menjadi asing seperti saat ini ketika para generasi baru diberi tau dan kasih contoh bahwa membaca adalah simbol harga diri ketika ingin dihormati secara pantas. Kenyataan  ini bisa anda survei dan tanyakan pada setiap imam yang bertebaran disetiap kampus. Sehingga wajar ketika diskusi kewibawaan dan harga diri menjadi topik yang “seksi di era saat ini. Titik pangkalnya sederhana  terletak pada rendahnya jangkauan nalar atas setiap permasalahan yang dihadapi oleh para imam. Masalahnya karena mereka tidak membaca. Lalu tidak ditempa oleh jutaan pelajaran dari setiap bacaan. Berdiri tegak tapi menatap dengan tatapan kosong. Berbagi tapi tak memiliki “pengalaman” inilah yang disebut penebar ilusi.

Sejatinya setiap pengalaman menjanjikan pelajaran, dari pelajaran orang akan memahami kepantasan. Melalui  “membaca” adalah cara terbaik untuk tau batas dan kepantasan. Tesis ini bisa menjadi alat untuk mengukur kedalaman sikap dan prilaku manusia. Kewibaan akan muncul dari kepantasan setiap manusia dalam menerjemahkan setiap permasalah yang dihadapinya. Kerendahan diri manusia juga akan muncul dari kumpulan pelajaran dan pengalaman yang dihadirikan dalam setiap “bacaan” manusia. Manusia yang beragama pasti akan mengakuai bahwa kedalamaan “bacaan” adalah bentuk yang nyata dari pengakuan atas ketidaktauan manusia atas luasnya hasil ciptaan sang pencipta.

Cita-cita perlawanan atas setiap yang bernama “ketidakadilan” akan menjadi mitos ketika kepemilikan atas buku menjadi masalah pada setiap orang yang mengatas namakan dirinya pemikir ataupun cendekiawan. Ketika manusia-manusia tidak terpelajar muncul sebagai imam disetiap madrasah intelektual,  maka jangan harap akan lahir banyak perbaikan. Kenyataan itu setidaknya saat ini sudah nampak secara jelas, walaupun terkadang kita berpura-pura tak mengenalnnya. Kenapa demikian? Jawaban sederhanannya mereka yang berdiri sebagai imam tidak lahir dari jalan yang pantas. Melainkan muncul tiba-tiba atas dari kesepakatan “politik” dan sejenisnya. Tak ingin saya jelaskan kenapa proses itu tidak pantas atau pun tidak memenuhi kepantasan. Karena saya sangat yakin pembaca bisa menjelaskannya.

Untuk mengembalikan kepantas para pemikir/intelektual/cendikiawan bisa dimulai dengan kemilikan buku yang pantas, dibaca, dtulis kembali, lalu ditebar benih pada setiap manusia yang beridiri mengelilingi kita. Lewat ini manusia akan uji kemampuannnya untuk melihat dan menjawab dari setiap bacaannya. Proses ini akan memantaskan manusia ketika dia didaulat jadi imam.
#Otokritik.


Penulis: Iskandar, S.Sos.
Pengurus Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar