Home » , , » Otonomi Desa Musibah Untuk Masyarakat Desa (Bima)?

Otonomi Desa Musibah Untuk Masyarakat Desa (Bima)?

Firdaus, S.Sos., M.IP.
www.pusmajambojojogja.or.id – Desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia adalah desentralisasi dan otonomi  “semu” dan “setengah hati”. Hak otonomi dan desentralisasi hanya terhenti pada pemerintah propinsi dan kabupaten semata (Abdul gaffar, 2011), sementara desa tidak di anggap dan tidak diberikan hak tersebut, bahkan Hanif Nurkholis (dalam Sutoro 2015) mengatakan pemerintahan desa dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia merupakan ”unit pemerintahan palsu”. Padahal kalau kita kembali pada kesepakatan berdebatan mengenai hakikat, fungsi dan kedudukan desa, maka sudah seharusnya kita menempatkan kesadaran kita bahwa desa merupakan cikal bakal lahirnya sebuah negara, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum dan adat yang mengedepankan asas keragaman, bahkan Desa adalah unit “Negara kecil’ (Sutoro, 2015), landasan itu lah yang harus dikedepankan untuk memberikan hak otonomi untuk desa, atas dasar itu lah desa harus diakui keberadaanya melalui pemberian kebebasan untuk menata dan mengatur urusan rumah tangga desa tersebut. Agar supaya desa menjadi lebih berarti dan bermanfaat serta bermatabat dihadapan masyarakat dan hukum.

Desa yang dihuni oleh lebih dari 60 persen penduduk Indonesia, tetap mengalami Involusi meski proyek-proyek pembangunan dan bantuan dana terus menetes kepadanya, corpus besar pemerintahan dan pembangunan di Indonesia sampai sekarang tetap menempatkan desa dalam posisi marginal, desa menjadi obyek pengaturan, kebijakan, pembangunan, eksploitasi kapital, “politik etis” atau tempat membuang bantuan, keadilan sosial betul-betul tidak berpihak kepada masyarakat desa, akibatnya desa menderita kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, ketergantungan, dan kedodoran menghadapi pertumbuhan kota (Sutoro, 2005). Fakta inilah yang menjadi keresahan sekaligus tuntutan baik dari masyarakat penghuni desa itu sendiri maupun dari para pemikir tersohor yang mendedikasikan ilmu dan karyanya untuk masyarakat desa. Tuntutan dan harapan tersebut kini telah dipenuhi oleh pemerintah melalui penetapan kebijakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) yang menempatkan desa sebagai struktur pemerintahan yang paling bawah dan memiliki hak otonomi.

Kebebasan yang dimandatkan oleh UU Desa adalah kebebasan untuk menentukan “hidup sendiri”, namun tetap berpegang teguh pada prinsip persatuan dan kesatuan sebagai bentuk representasi daerah yang berada dalam wilayah negara kesatuan. UU Desa memberikan hak otonomi yang luas dan nyata kepada pemerintah desa dengan harapan setiap desa mampu mewujudkan demokratisasi, mandiri, kuat, bermartabat, bahkan mampu membentuk republik desa (Sutoro, 2015).

Harapan pemerintah Jakarta melalui UU Desa ialah menekan pemerintah Desa agar setiap pemerintah desa mampu bersikap akuntabel dan profesional, bekerja secara efesien dan efektif, menjujung tingggi kesetaraan dan partitisipasi serta mampu menegakan hukum untuk kemaslahatan bersama sehingga masyarakat desa menjadi masyarakat yang bermartabat dan mandiri. Hal ini perlu dilakukan mengingat pentingnya menciptakan tata pemerintahan yang baik (good gavernance).

Mari kita komparasikan antara ide, misi dan harapan UU Desa dengan kenyataan yang berada di bima, yaitu pertama, kapastitas pemerintah desa. kedua, model rekruitasi staf desa. ketiga syarat menjadi kepala desa. Setiap pemerintah desa di Nusa Tengga Barat khususnya desa yang berada di kabupaten Bima. Terdapat 191 desa (bimakab.bps.go.id), menurut observasi penulis 95 persen diantaranya belum ada tanda-tanda yang menjalankan tugasnya sesuai misi, ide dan harapan UU Desa tersebut.
ilusi
Mari kita identifikasi tiga hal di atas, pertama kapasitas pemerintah desa, harus kita akui bahwa setiap kepala desa yang memimpin desa di bima ialah mereka yang rata-rata tamatan SMP atau sederajat, dari identifikasi ini, dapat dipastikan bahwa setiap kepala desa yang memimpin setiap desa di bima merupakan “bayi-bayi politik” yang belum memiliki kapasitas dalam merumuskan kebijaan politik dan program perberdayaan masyarakat secara efektif. Argumen ini sangat kuat karena didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa sampai saat ini belum ada satu desa pun (di daerah bima) yang memiliki kebijakan yang menekan untuk pengoptimalan pengelolaan badan usaha milik desa (BUMDes) (bahkan LKMD, LPMD dan KOPERSI tidak berjalan optimal karena kurang pengawasan dan pengontrolan) belum ada pembangunan ekonomi desa yang berbasis kelompok, berjangka panjang dan berkelanjutan untuk mewujudkan desa yang mandiri dan ekonomi yang maju, sejauh ini program desa masih temporary (program hanya direncanakan sampai masa bakti berakhir) dan setelah masa bakti berakhir maka berakhir pula program desa dan kedekatan pemerintah desa dengan masyarakat desa (ganti kepala desa, ganti RPJMDes dan kadang-kadang ganti staf dan BPD).

Kedua, rekruitasi staf desa, rasa kekeluargaan atau rasa hau ade masih sangat kental dan masih terpelihara di bima, pada dasarnya hal ini sangat bagus untuk dipertahankan untuk menghadang laju globalisasi yang berambisi menciptakan tatanan sosial yang individualistik, namun prinsip kekuargaan tidak selamanya harus dipertahankan jika tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat secara utuh. Model rekruitasi staf desa di bima masih mengedepankan asas kekeluargaan dan kedekatan tanpa mempertimbangkan kapasitas dan keahlian. menurut penulis, hal tersebut wajar dilakukan oleh pemerintah desa mengingat kapasitas ilmu yang mereka miliki belum terlalu luas dan mengingat pula tingkat pendidikan yang mereka terima masih tergolong rendah.  Pola rektuitasi staf desa di bima masih ditentukan berdasarkan pada asas kedekatan, kekeluargaan dan atau karena mendukung pada saat mencalonkan diri menjadi kepala desa. Pola rekruitasi yang seperti inilah yang mengakibatkan staf desa di bima mayoritas dikuasi oleh orang yang dekat dengan kepala desa (kalangan kerabat), apalagi tidak ada peraturan Bupati dan Gubernur yang mengatur tentang “syarat khusus” (uji kelayakan) untuk menjadi staf atau kepala desa, sampai saat ini syarat menjadi staf desa (termaksud BPD) ditentukan berdasarkan hak preoregatif kepala desa. Apabila pola rekruitasi semacam ini masih terus dipertahakan dapat dipastikan bahwa desa akan menajdi embrio munculnya pemerintah yang hierarkis absolut yang akan mengancam stabilitas demokrasi. Bahkan skat-skat antara pemerintah desa dengan pemerintah kecematan dan kabupaten akan terus terjadi dan berkelanjutan.

Ketiga, syarat menjadi kepala desa, menurut UU Desa salah satu syarat menjadi kepala desa ialah minimal memiliki ijazah sekolah menengah pertama atau sederajat, pada poin yang ini UU Desa membuka kran liberalisasi untuk menjadi pemimpin desa, artinya UU Desa menetapkan setiap warga desa berhak menjadi kepala desa, entah yang dari kalangan preman (preman yang pensiun maupun preman yang baru dilantik serta preman yang akan segera dilantik), tokoh agama, tokoh adat, petani, bajak laut dll. Logika tanpa logistik berakibat brutalitas, atau kemiskinan dekat dengan kekufuran, kira-kira itulah logika dan cara berfikir yang muncul di masyarakat bima, artinya hal ini akan memicu setiap individu untuk berpacu mencari makan lewat menjadi pejabat desa. Menurut Munzami (dalam http;//ideas-aceh.org/10-propinsi-termiskin-di-indonesia/) daerah NTB merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi yaitu berada pada uruatan ke delapan dari sepuluh daftar propinsi termiskin di Indonesia, jumlah orang miskin di NTB sejumlah 802,29 atau 16,54% . Dari data tersebut kita bisa hitung-hitungan seberapa besar peluang masyarakat kategori miskin untuk berlomba mencari makan lewat menjadi pemimpin desa. Artinya semakin tinggi angka masyarakat kategori miskin dan semakin besar anggaran belanja untuk desa maka semakin tinggi pula tingkat kompetisi masyarakat yang terlibat aktif untuk mendukung/mengusung dan menjadi kepala desa.

Dinamika politik di bima terlihat sangat unik, setiap individu yang maju untuk menjadi kepala desa di Bima animo yang terbangun ialah “memperbaiki sisi ekonomi untuk diri sendiri dan kerabat”  ede da ru,u dou sura ndai labo keluarga paling tidak untuk mewujudkan animo  tersebut melalui penerimaan gaji bulanan dan politisasi dana proyek desa. Apalagi UU Desa mengamanatkan bahwa setiap desa wajib menerima anggaran dari APBN minimal satu Miliar per satu tahun (besaran anggaran dana desa dihitung berdasarkan syarat pembentukan desa dan frasya desa)  maka jelas animo ekomis tersebut akan terus berjalan. (politik uang pun tidak bisa terelakan dan konflik antar warga pun akan kian mengganas). Apabila fenomena di atas tidak bisa dimanajerial dengan baik maka akan membawa harapan dan semangat UU Desa berubah menajdi bencana yang menggetarkan  warga Indonesia khususnya bagi warga bima

“Keterpurukan masyarakat adalah cerminan dari kebodohan pemerintah” apabila pengontrolan dan pengawasan melalui pelatihan peningkatan kapasitas, peraturan daerah tentang syarat khusus untuk menjadi kepala dan staf desa, pelatihan manajerial pengelolaan keuangan, pelatihan pengembangan sumber daya alam milik desa, pelaitahan pengembangan sistem informasi desa (berbasis online dan manual), pembangunan ekonomi berbasis kelompok yang berkelanjutan dan strategi penaggulangan kemiskinan yang disesuaikan dengan potensi dan keadaan desa tersebut tidak dilakukan maka harapan UU Desa akan menjadi ilusi yang menghabiskan anggran semata.  Masyarakat bima masih beranggapan bahwa pemerintah adalah segala-galanya, biarkan pemerintah yang merencanakan dan mengerjakannya, kita sebagai (masyarakat biasa) tunggul hasi saja.

Referensi:
Karim Abdul Gaffar 2011. Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia. Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Sutoro Eko 2005. Manifesto pembaharuan desa. Persembahan 40 tahun STPMD”APMD”. Apmd Press Yogyakarta.
Sutoro Eko 2015. Regulasi Baru, Desa Baru. Ide, Misi dan Semangat UU Desa.
http://bimakab.bps.go.id. Diunduh pada tanggal 19 April 2016.
http://ideas-aceh.org/10-propinsi-termiskin-di-indonesia. Diunduh pada tanggal 19 April 2016.


Penulis: Firdaus, S.Sos., M.IP.
Alumni Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.


Catatan:
Tulisan ini merupakan salahsatu persyaratan untuk mengikuti Workshop Menulis Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta, dengan mengangkat Tema: “Pelembagaan Budaya Menulis, Upaya Mempercepat Pembangunan Dana Mbojo”. Dilaksanakan pada tanggal 23-24 April 2016, bertempat di Gedung Pelatihan Kementerian Dalam Negeri Yogyakarta (Alamat: Jln. Melati Kulon No. 1, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta).

0 komentar:

Posting Komentar