Home » » Pesantren dan Perannya

Pesantren dan Perannya

Muhammad Alfian, S.Pd.I. 
www.pusmajambojojogja.or.id – Pendidikan dewasa ini mengemban tugas yang lebih berat, dimana semakin majunya teknologi informatika mengakibatkan degradasi moral semakin kentara saja. Kita tidak bisa disatu sisi menyalahkan arus globalisasi informatika, karena disadari seiring berkembangnya zaman, perkembangan akan teknologi tak bisa terhindarkan, mengingat manusia semakin hari semakin berpikir untuk “memudahkan” semua proses hidupnya di dunia ini. Namun, seperti hal yang tersebut diatas, hal ini menyebabkan degradasi moral yang tak terhindarkan pula, yang menjadikan manusia “melek” teknologi, namun kosong “moral” nya.

Bukan hanya pendidikan secara umum yang mengemban tugas mulia untuk membimbing “moral” ini ke arah yang lebih baik, namun lebih dari itu, pendidikan agama (dalam hal ini agama Islam) merasa mempunyai kewajiban untuk mengemban tugas ini, terlebih pembentukan moral dan budi yang mulia merupakan tujuan dari di adakannya pendidikan agama (pun pendidikan nasional secara umum). [UU RI No. 20 Tahun 2003]

Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren (lihat Pasal 14 PP No. 55 Tahun 2007), menyiratkan bahwa dua bentuk lembaga pendidikan Islam ini pun mempunyai peran untuk membimbing moral ini sesuai dengan apa yang ada dalam ajaran Islam. Namun, terjadi hal yang sedikit mengagetkan dimana tren yang berkembang dalam dunia Islam beberapa tahun belakangan ini adalah fenomena radikalisme pemikiran keagamaan pada lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah dan sekolah. Hal ini dibuktikan oleh kasus-kasus terorisme dan kekerasan yang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang merupakan keluaran dari lembaga pendidikan Islam dan memiliki motivasi ideology Islam yang kental, dimana ideology tersebut juga merupakan produk doktrin agama. Menyikapi hal ini, perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai bagaimana fungsi dari keberadaan pesantren ini, agar bisa dijadikan tolak ukur dalam menjawab permasalahan yang disebutkan diatas.

Semula, pondok pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam: lembaga yang digunakan untuk penyebaran agama dan tempat mempelajari agama Islam. Selanjutnya lembaga ini mengusahakan tenaga-tenaga bagi pengembangan agama. Agama Islam mengatur bukan hanya amalan-amalan peribadatan, apa lagi sekedar hubungan orang dengan tuhannya, melainkan juga peri kelakuan orang dalam berhubungan dengan sesame dan dunianya. Hal-hal ini segera pula berpengaruh terhadap usaha-usaha pondok pesantren untuk menghasilkan pemuka-pemuka dalam kehidupan kemasyarakatan. Gerakan bagi penyebaran agama, gerakan bagi pemahaman kehidupan keagamaan, dan gerakan-gerakan social berpadu dalam pekerjaan pondok pesantren. Kemampuan pondok bukan saja dalam pembinaan pribadi muslim, melainkan begi usaha mengadakan perubahan dan social kemasyarakatan. Pengaruh pondok pesantren tidak saja terlihat dari kehidupan santri dan alumninya, melainkan juga kehidupan masyarakat sekitarnya.

Pesantren dengan ruh, sunnah dan kehidupan berasrama dengan kyai sebagai tokoh pokoknya dan masjid sebagai pusat lembaganya, merupakan suatu system pendidikan yang tersendiri dan mempunyai corak khusus. Di dalam ruh, sunnah dan kehidupan berasrama itulah antara lain letak kekhususan pondok sebagai suatu system pendidikan. Adapun metode pengajarannya sebenarnya adalah suatu hal yang setiap kaali dapat berkembang dan berubah sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan masing-masing cabang ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, dalam waktu yang sangat panjang pesantren secara agak seragam mempergunakan metode yang lazim disebut sebagai wetonan dan sorogan.

Dengan keberadaannya selama beberapa abad silam, pesantren dibangun dengan tujuan utama untuk memberikan pendidikan agama Islam kepada masyarakat sekitar tempat didirikannya pesantren tersebut. Dalam perjalanan pengajarannya, hal yang paling utama ditekankan adalah bagaimana membentuk sikap Iman dan takwa pada peserta didiknya (santri), sebagai bekal awal dalam perjalanan pendidikan dan pemberian materi setelahnya, karena dari sikap iman dan takwa, akan bisa lebih mudah membentuk sikap lainnya. Pesantren sangat disadari juga menjadi “basis” pembentukan ahlak dan moral anak bangsa yang Islami. Hal ini tidak bisa dipungkiri dari pola pembinaan pesantren yang kelihatannya “memaksakan” santrinya untuk taat dan pada peraturan pesantren, mulai dari bangun pada dini hari untuk tahajud, taat pada waktu shalat wajib, harus taat pada Pembina, terlebih pada kyai, dilarangnya membawa alat komunikasi yang up to date, juga pemberian materi agama yang sistematis, semakin mendukung peran pesantren sebagai benteng pertahanan moral.

Pondok pesantren dapat berperan lebih dinamis bukan hanya karena kemampuannya melakukan penyesuaian kultural, tetapi juga karena karakter eksistensialnya. Pondok pesantren telah mampu memainkan peran sebagai pialang budaya dalam pengertian yang luas dan positif. Oleh karena itu, pondok pesantren, dalam dinamika dan perkembangannya, juga dapat menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan social

Bukan hanya itu saja, keberadaan pesantren secara tidak langsung juga membawa pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kehidupan keagamaan di lingkungan sekitar pesantren (bukan hanya menjadi tempat titipan anak bagi masyarakat sekitarnya untuk belajar). Studi kasus dapat ditunjukan, yaitu sejarah pertumbuhan pesantren tebu irengg di jombang. Masyarakat pedesaan pada saat itu mulanya adalah sebuah masyarakat serba keduniawian (mundaan) yang didukung oleh kehidupan yang relatif makmur dengan adaya  sebuah pabrik gula di salah satu pedukuhan desa itu. Sikap hidup masyarakat Jawa lama, yang berorientasi pada harmoni dengan sang pencipta dalam suatu kehidupan yang serba keagamaan, bersinggungan dengan ekses-ekses dari kehidupan ekonomi liberal yang mendukung eksistensi pabrik gula itu. Proses akulturasi hasil perbenturan ini menciptakan masyarakat yang secara budaya berwatak rawan: hilangnya rasa aman perorangan dari gangguan “jago-jago” dan meluasnya relativitas moral. Berdirinya sebuah pesantren di tempat ini, pada mulanya memperoleh tantangan keras dari masyarakat, tetapi lambat laun masyarakat itu mulai mengalami transformasi menjadi sebuah pola kehidupan yang baru, di mana nilai kehidupan beragama mulai mendapatkan tempat yang dominan (M. Dawam Raharjo dkk). Hal ini menjadi bukti, bahwa keberadaan pesantren di sebuah lingkungan tertentu, memberikan pengaruh yang cukup dominan dalam pembentukan keagamaan di lingkungan tersebut.

Oleh karenanya, salah satu solusi mumpuni untuk mengatasi degradasi moral yang makin marak terjadi dewasa ini adalah dengan menjadikan pesantren sebagai salah satu pilihan lembaga pendidikan yang utama. Berbagai stigma negative mengenai pesantren yang beredar bisa jadi hanya pemberitaan yang ingin menurunkan pamor pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua dan terbaik dalam hal pembinaan moral.

Bahan Bacaan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
PP Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur (dalam M. Dawam Raharjo dkk, Pesantren dan Pembaharuan).


Penulis:
Muhammad Alfian, S.Pd.I. 
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta / Bidang Kerohanian Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta Periode 2015-2016.

1 komentar: